Jumat, 05 Desember 2008

PROMOSI KESEHATAN

PENGANTAR PROMOSI KESEHATAN

A. Kesehatan
Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 memberikan batasan: kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang paling baru ini, memang lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehatan itu hanya mencakup tiga aspek, yakni: fisik, mental, dan sosial, tetapi menurut Undang-Undang No. 23/1992, kesehatan itu mencakup 4 aspek yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan ekonomi.
Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Bagi yang belum memasuki usia kerja, anak dan remaja, atau bagi yang sudah tidak bekerja (pensiun) atau usila (usia lanjut), berlaku produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan, misalnya sekolah atau kuliah bagi anak dan remaja, dan kegiatan pelayanan sosial bagi usila. Keempat dimensi kesehatan tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau masyarakat. Itulah sebabnya, maka kesehatan itu bersifat holistik atau menyeluruh. Wujud atau indikator dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan individu antara lain sebagai berikut.
Kesehatan fisik terwujud apabila seseorang tidak merasa sakit dan memang secara klinis tidak sakit. Semua organ tubuh normal dan berfungsi normal atau tidak ada gangguan fungsi tubuh.
Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni: pikiran, emosional, dan spiritual
a. Pikiran yang sehat tercermin dari cara berpikir seseorang, yakni mampu berpikir logis (masuk akal) atau berpikir secara runtut.
b. Emosional yang sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, khawatir, sedih, dan sebagainya.
c. Spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau penyembahan terhadap sang pencipta alam dan seisinya (Allah Yang Maha Kuasa). Secara mudah spiritual yang sehat itu dapat dilihat dari praktik keagamaan atau kepercayaannya, serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain secara baik, atau mampu berinteraksi dengan orang atau kelompok lain tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama atau kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, saling menghargai dan toleransi.
Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat dari produktivitas seseorang (dewasa) dalam arti mempunyai kegiatan yang sesuatu yang dapat menyokong hidupnya atau keluarganya secara finansial. Bagi anak, remaja, dan usila dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Bagi mereka, produktif di sini diartikan mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya sekolah atau kuliah bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan pelayanan atau keagamaan bagi para usila.

B. Pola Dasar Indikator Kesehatan
Kesehatan adalah suatu hal yang kontinum, yang berada dari titik ujung sehat walafiat sampai dengan titikpangkal sakit serius. Oleh Fashel dan Bush (1970) yang mendasarkan uraiannya pada definisi Parson menjabarkan kesehatan ke dalam 11 tingkatan atau keadaan. Dari ke-11 tingkatan tersebut, mereka sekaligus mencoba membuat indikator-indikatornya sebagaimana diuraikan di bawah:
1) Well being (sehat sempurna)
Pada keadaan ini individu bebas gejala, keadaan kesehatannya sesuai dengan definisi sehat WHO, yaitu: sehat fisik, mental, sosial, dan ekonomi.
2) Dissatisfaction (kurang memuaskan)
Keadaan kesehatan individu dalam batas-batas tertentu dapat diterima, namun ada penyimpangan ringan dari keadaan well being, misal: caries dentis.
3) Discomfort (tidak nyaman)
Aktivitas sehari-hari dapat dilaksanakan tanpa pengurangan, walaupun beberapa gejala mulai tampak.
4) Minor disability (ketidakmampuan minor)
Aktivitas sehari-sehari dapat dilaksanakan, namun berkurang secara bermakna karena adanya gangguan kesehatan.
5) Mayor disability (ketidakmampuan mayor)
Aktivitas sehari-hari masih dapat dilaksanakan, namun berkurang secara bermakna.

6) Disabled (cacat)
Individu tidak mampu melaksanakan kegiatan sehari-harinya, tetapi masih bisa bergerak bebas dalam masyarakat.
7) Confined (terbatas)
Individu berada di tempat tidur tetapi tidak masuk rumah sakit (dirawat).
8) Confined + bedridden (tinggal di tempat tidur)
Kemampuan kegiatan individu hanya terbatas di tempat tidurnya.
9) Isolated (terisolasi)
Individu terpisah dari sanak keluarga. dan kawan-kawan (dirawat).
10) Coma
Individu hampir mati, namun ada kemungkinan bisa sembuh dan jadi lebih sehat lagi.
11) Mati
Individu tidak mampu sama sekali.
Status fungsional oleh Bush dan kawan-kawan dititikberatkan pada 3 ciri khas dari keadaan fungsional, yaitu: penggerakan badan, mobilitas, dan aktivitas peranan utama (major role activities).
Yang terakhir ini major role activity, merupakan ciri paling khas dari definisi sosio-kultural tentang kesehatan dan penyakit, karena berhubungan erat dengan sifat-sifat sosial, sedangkan pergerakan badan dan mobilitas tidak. Indeks fungsi status dianggap sebagai ukuran sosio-kultural mengenai kesehatan/ penyakit yang tidak bisa diterima.
Indeks fungsi status terdiri dari 3 skala yang memperhitungkan :
- pergerakan badan (body movement),
- mobthtas (mobility), dan
- aktivitas peran utama (major role activity).
Tiap skala terdiri dari 4 - 5 tingkatan, misalnya skala peranan/ kegiatan yang lain, diperinci sebagai berikut:
1) Pertolongan dibutuhkan dan juga kegiatan pemeliharaan kesehatan diri.
2) Tidak ada kegiatan utama, namun ada kegiatan pemeliharaan kesehatan diri.
3) Ada kegiatan utama dengan batasan-batasannya.
4) Ada kegiatan utama tetapi terbatas pada kegiatan lain.
5) Ada kegiatan utama dan kegiatan lain.
Indeks status fungsi merupakan indikator reliabilitas validitas dan definisi sosio-kultural kesehatan.



Pendekatan Sosiologi Lain
Mechanic’s Coping Respons Teory
Teori ini dimaksudkan untuk mengatasi penyakit. Perilaku sakit bagi Mechanic’s merupakan reaksi optimal dari individu untuk penyakit. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa perilaku sakit seseorang ditentukan pertama-tama oleh sistem sosial dimana ia berada.
Menurut Mechanic’s, penerimaan perilaku sakit dan peranan si sakit merupakan proses musyawarah antara individu dan mereka yang berhubungan dengan individu tersebut. Untuk itu ia menyimpulkan adanya 10 faktor penting yang berperan dalam proses negosiasi dan evaluasi:
1. Penampilan, pengenalan atau pengertian yang paling menonjol dari gejala-gejala.
2. Berat atau ringannya gejala yang membawa keretakan pada keluarga, pekerjaan ataupun aktivitas sosial lain.
3. Dampak gejala-gejala yang membawa keretakan pada keluarga, pekerjaan ataupun aktivitas sosial lain.
4. Frekuensi gejala, yaitu frekuensi timbul kembalinya gejala.
5. Nilai ambang toleransi dari mereka yang menilai gejala-gejala.
6. Informasi, yaitu pengetahuan dan pengertian sosio-budaya yang diperoleh dari para penilai.
7. Kebutuhan, berarti yang menuju ke proses psikologi subjektif (menurut kebutuhannya sendiri).
8. Perbandingan, yaitu keperluan atau kebutuhan dibandingkan dengan reaksi penyakit (prioritas mana?).
9. Mengikutsertakan inpretasi masuk akal yang bisa menjelaskan gejala-gejala yang dikenal kembali.
10. Tersedianya fasilitas pengobatan

Model Sucham tentang Perilaku
Sucham membuat 5 tingkatan perilaku guna mencari pertolongan, yaitu:
1. Tingkat pengalaman gejala-gejala,
2. Tingkat asumsi; peranan sakit,
3. Tingkat peranan berhubungan; dengan pelayanan kesehatan,
4. Tingkat ketergantungan pasien,
5. Tingkat penyembuhan (rehabilitasi).
Menurut Sucham, tidak selalu semua tingkatan harus ada pada tiap kasus penyakit. Dalam hal ini Sucham sama dengan Mechanic, tidak semua individu sakit, tetapi secara otomatis menerima peranan sakitnya dan berbuat seperti sakit.
Kebanyakan manusia hanya berbeda pada tingkat 1 s.d. 3. Jarang ada yang menerima pelayanan kesehatan secara murah sebagai syarat terakhir.

Kesehatan Sempurna, Kesehatan Normal, dan Penyakit:
Twoddle (1974) menitikberatkan hubungan sosial budaya dalam menentukan kesehatan. Menurut pendapatnya, tidak ada seorang pun yang seratus persen sehat, dan tiap orang tidak sakit.
Jadi antara kesehatan sempurna dan kematian terletak kesehatan normal dan sakit (ill health).
Menurut Twoddle, apa yang sehat bagi seseorang bisa saja tidak sehat bagi orang lain. Ada dua hal timbul dari usaha menjelaskan kesehatan dan penyakit, yaitu:
a. Karena terpaksa membicarakan kesehatan normal dengan kesehatan sempurna, kesehatan lebih dikenal sebagai norma sosial
b. Definisi kesehatan dilihat dari sudut sosial lebih khas daripada bila dilihat dari sudut biologis.
Dari kriteria biologis, yang terpenting letaknya pada dua ujung ekstrem, yaitu kesehatan sempurna dan kematian.

C. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan ialah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/ atau masyarakat. Hal ini berarti bahwa peningkatan kesehatan ini, baik kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat, harus diupayakan. Upaya mewujudkan kesehatan ini dilakukan oleh individu, kelompok masyarakat, lembaga pemerintahan, ataupun swadaya masyarakat (LSM). Upaya mewujudkan kesehatan tersebut, dapat dilihat dari dua aspek, yakni pemeliharaan kesehatan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan mencakup dua aspek, yaitu aspek kuratif (pengobatan penyakit) dan aspek rehabilitatif (pemulihan kesehatan setelah sembuh dari sakit atau cacat). Sedang peningkatan kesehatan mencakup 2 aspek, aspek preventif (pencegahan penyakit) dan aspekpromotif (peningkatan kesehatan itu sendiri). Kesehatan perlu ditingkatkan karena kesehatan itu relatif dan mempunyai bentangan yang luas. Oleh sebab itu upaya kesehatan promotif mengandung makna bahwa kesehatan seseorang, kelompok, atau individu, harus selalu diupayakan sampai tingkat yang optimal.
Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan diwujudkan dalam suatu wadah pelayanan kesehatan yang disebut sarana kesehatan. Jadi sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan, pada umunmya dibedakan menjadi tiga.
Sarana pemeliharaan kesehatan primer (primary care)
Sarana atau pelayanan kesehatan bagi kasus-kasus atau penyakit ringan. Sarana kesehatan primer ini adalah sarana yang paling dekat pada masyarakat, artinya, pelayanan kesehatan paling pertama yang menyentuh masalah kesehatan di masyarakat. Misalnya puskesmas, poliklinik, dokter praktik swasta, dan sebagainya.
Sarana pemeliharaan kesehatan tingkat dua (secondary care)
Sarana atau pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-kasus atau penyakit-penyakit dari sarana pelayanan kesehatan primer. Artinya, sarana pelayanan kesehatan ini menangani kasus-kasus yang tidak atau belum bisa ditangani oleh sarana kesehatan primer karena peralatan atau keahliannya belum ada. Misalnya puskesmas dengan rawat inap (puskesmas pusat), rumah sakit kabupaten, rumah saint tipe D dan C, dan rumah bersalin.
Sarana pemeliharaan kesehatan tingkat tiga (tertiary care)
Sarana pelayanan kesehatan rujukan bagi kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh sarana-sarana pelayanan kesehatan primer dan pelayanan kesehatan sekunder. Misalnya rumah sakit provinsi, rumah sakit tipe B atau A.
Sarana pelayanan kesehatan primer di samping mel.akukan pelayanan kuratif, juga melakukan pelayanan rehabilitatif, preventif, dan promotif. Oleh sebab itu puskesmas, dikatakan melakukan pelayanan kesehatan yang komprehensif (preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif). Berdasarkan empat dimensi kesehatan yakni fisik, mental, sosial, dan ekonomi, maka pelayanan kesehatan tersebut harus juga melakukan pelayanan kesehatan fisik, mental, sosial, dan bahkan ekonomi. Dalam realisasi sosial memang keempat aspek tersebut sulit dipisahkan, oleh karena itu pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat holistik, artinya mencakup keempat jenis pelayanan tersebut.

D. Kesehatan Masyarakat
Secara umum kesehatan dikelompokkan menjadi dua, yakni kesehatan individu dan kesehatan agregat (kumpulan individu) atau kesehatan masyarakat. Ilmu yang mempelajari masalah kesehatan individu ini adalah ilmu kedokteran (medicine), sedangkan ilmu yang mempelajari masalah kesehatan agregat adalah ilmu kesehatan masyarakat (public health). Perbedaan antara kedua disiplin ilmu kesehatan ini antara lain sebagai berikut.
Objek atau sasaran ilmu kedokteran adalah individu, sedangkan objek ilmu kesehatan masyarakat adalah masyarakat. Dengan perkataan lain, pasien kedokteran adalah individu yang sakit, sedangkan pasien kesehatan masyarakat adalah masyarakat, terutama yang sehat.
Kedokteran lebih memfokuskan pelayanan pada kuratif dan rehabilitatif, sedangkan kesehatan masyarakat lebih memfokuskan pelayanan pada aspek preventif dan promotif.
Keberhasilan kedokteran apabila individu sembuh dari penyakit dan pulih kesehatannya. Sedangkan keberhasilan kesehatan masyarakat adalah apabila kesejahteraan masyarakat meningkat.
Indikator kesehatan individu/ kedokteran adalah bebas dari penyakit/ tidak sakit, tidak cacat, dan produktif, sedangkan indikator kesehatan masyarakat antara lain angka kematian bayi, angka kematian karena melahirkan, mortalitas (angka kematian penduduk), morbiditas (angka kesakitan penduduk).
Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masyarakat yang telah berjalan sampai abad ke-20, Winslow (1920) seorang ahli kesehatan masyarakat, membuat batasan yang sampai sekarang masih relevan, yaitu: kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui usaha-usaha pengorganisasian masyarakat untuk:
1) perbaikan sanitasi lingkungan,
2) pembersihan penyakit-penyakit menular,
3) pendidikan untuk kebersihan perorangan (personal hygiene)
4) pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini serta pengobatan, dan
5) pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin agar setiap orang terpenuhi kebutuhan hidupnya yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Dari batasan-batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan masyarakat mempunyai dua aspek teoretis (ilmu atau akademi) dan praktisi (aplikasi). Kedua aspek ini masing-masing mempunyai peran dalam kesehatan masyarakat. Secara teoretis, kesehatan masyarakat perlu didasari dan didukung dengan hasil penelitian. Artinya, dalam penyelenggaraan kesehatan masyarakat (aplikasi) harus didasari dengan temuan (evident based) dan hasil kajian ilmiah (penelitian). Sebaliknya, kesehatan masyarakat juga harus terapan (applied), artinya, hasil-studi kesehatan masyarakat harus mempunyai manfaat bagi pengembangan program kesehatan.
Dilihat dari ruang lingkup atau bidang garapannya, kesehatan masyarakat tersebut mencakup kesehatan/sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit menular yang tidak terlepas dari epidemiologi, pendidikan kesehatan, manajemen pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Sesuai dengan perkembangan masalah kesehatan di masyarakat, maka kesehatan masyarakat sampai dewasa ini mencakup epidemiologi dan biostatistik, sebagai “toll” analisis masalah-masalah kesehatan masyarakat. Kemudian komponen yang lain antara lain kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, gizi masyarakat, administrasi kesehatan masyarakat, pendidikan kesehatan, dan sebagainya.

E. Peran Pendidikan Kesehatan dalam Kesehatan Masyarakat
Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (di luar diri manusia). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari berbagai faktor, antara lain sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi 4 (Blum, 1974). Berdasarkan urutan besarnya (pengaruh) terhadap kesehatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) lingkungan, yang mencakup lingkungan fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya,
2) perilaku,
3) pelayanan kesehatan, dan
4) hereditas (keturunan).
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat hendaknya juga dialamatkan kepada empat faktor tersebut. Dengan kata lain intervensi atau upaya kesehatan masyarakat juga dikelompokkan menjadi 4 (empat), yakni intervensi terhadap faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan hereditas.
Intervensi terhadap faktor lingkungan fisik adalah dalam bentuk perbaikan sanitasi lingkungan, sedangkan intervensi terhadap lingkungan sosial, budaya, politik, dan ekonomi dalam bentuk program-program peningkatan pendidikan, perbaikan sosial ekonomi masyarakat, penstabilan politik dan keamanan, dan sebagainya. Intervensi terhadap faktor pelayanan kesehatan adalah dalam bentuk penyediaan dan atau perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, perbaikan sistem dan manajemen pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Sedangkan intervensi terhadap faktor hereditas antara lain dengan perbaikan gizi masyarakat, khususnya perbaikan gizi ibu hamil. Dengan gizi yang baik ibu hamil akan menghasilkan anak yang sehat dan cerdas. Sebaliknya ibu hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak dengan berat badan yang kurang, sakit-sakitan, dan bodoh. Di samping itu pendidikan kesehatan bagi kelompok yang mempunyai faktor risiko menurunkan penyakit tertentu.
Pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi terutama terhadap faktor perilaku. Namun demikian, ketiga faktor yang lain (lingkungan, pelayanan kesehatan, dan hereditas) juga memerlukan intervensi pendidikan kesehatan. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut.
Peran Pendidikan Kesehatan dalam Faktor Lingkungan
Telah banyak fasilitas kesehatan lingkungan yang dibangun oleh instansi, baik pemerintah, swasta, maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Banyak pula proyek pengadaan sarana sanitasi lingkungan dibangun untuk masyarakat, misalnya jamban (kakus, WC) keluarga, jamban umum, MCK (sarana mandi, cuci, dan kakus), tempat sampah, dan sebagainya. Namun, karena perilaku masyarakat, sarana atau fasilitas sanitasi tersebut, kurang atau tidak dimanfaatkan dan dipelihara sebagaimana mestinya. Agar sarana sanitasi lingkungan tersebut dimanfaatkan dan dipelihara secara optimal, maka perlu didalam pendidikan kesehatan bagi masyarakat. Demikian pula dengan lingkungan non fisik, akibat masalah-masalah sosial banyak warga masyarakat yang menderita stres dan gangguan jiwa. Oleh karena itu baik dalam memperbaiki masalah sosial maupun dalam menangani akibat masalah sosial (stres dan gangguan jiwa), diperlukan pendidikan kesehatan.
Peran Pendidikan Kesehatan dalam Perilaku
Pendidikan kesehatan ialah suatu upaya atau kegiatan untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan. Artinya, pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat menyadari atau mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatan mereka, bagaimana menghindari atau mencegah hal-hal yang merugikan kesehatan mereka dan kesehatan orang lain, ke mana seharusnya mencari pengobatan bilamana sakit, dan sebagainya. Kesadaran masyarakat tentang kesehatan disebut “melek kesehatan” (health literacy). Lebih dari itu, pendidikan kesehatan pada akhirnya bukan hanya mencapai “melek kesehatan” pada masyarakat saja, namun yang lebih penting ialah mencapai perilaku kesehatan (healthy behaviour). Kesehatan bukan hanya diketahui atau disadari (knowledge) dan disikapi (attitude), melainkan harus dikerjakan/ dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (practice). Hal ini berarti bahwa tujuan akhir dari pendidikan kesehatan adalah agar masyarakat dapat mempraktikkan hidup sehat bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat, atau masyarakat dapat berperilaku hidup sehat (healthy life style).
Peran Pendidikan Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan
Dalam rangka perbaikan kesehatan masyarakat, pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Kesehatan telah menyediakan fasilitas kesehatan masyarakat dalam bentuk. Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Tidak kurang dari 7.000 Puskesmas tersebar di seluruh Indonesia. Namun pemanfaatan Puskesmas oleh masyarakat belum optimal.
Peran Pendidikan Kesehatan dalam Faktor Hereditas
Orang tua, khususnya ibu adalah faktor yang sangat penting dalam mewariskan status kesehatan kepada anak-anak mereka. Orang tua yang sehat dan gizinya baik akan mewariskan kesehatan yang baik pula kepada anaknya. Sebaliknya kesehatan orang tua, khususnya kesehatan ibu yang rendah dan kurang gizi, akan mewariskan kesehatan yang rendah pula kepada anaknya. Rendahnya kesehatan orang tua, terutama ibu, bukan hanya karena sosial ekonominya rendah, tetapi sering juga disebabkan karena orang tua, atau ibu tidak mengetahui bagaimana cara memelihara kesehatannya atau tidak tahu makanan yang bergizi yang harus dimakan. Oleh karena itu pendidikan kesehatan diperlukan pada kelompok ini, agar masyarakat atau orang tua menyadari dan melakukan hal-hal yang dapat mewariskan kesehatan yang baik kepada keturunan mereka.
Di samping itu, banyak penyakit yang dapat diturunkan kepada anak oleh orang tuanya, baik ayah ataupun ibu. Bagi kelompok masyarakat yang berisiko menderita penyakit turunan (misal asma, rematik, jantung koroner, dan sebagainya) harus diberikan pengertian sehubungan dengan penyakit-penyakit tersebut agar lebih berhati-hati dan mengurangi akibat serius dan penyakit tersebut.
Apabila kita cermati peran kesehatan dalam empat faktor yang mempengaruhi kesehatan tersebut, maka sebenarnya masing-masing faktor tersebut terkait dengan perilaku manusia, yakni perilaku masyarakat dalam menyikapi dan mengelola lingkungannya, perilaku masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, perilaku masyarakat dan petugas kesehatan dalam menyikapi dan mengelola fasilitas atau pelayanan kesehatan, kesadaran, dan praktik hidup sehat dalam mewariskan status kesehatan kepada anak atau keturunannya. Untuk mengondisikan faktor-faktor tersebut, diperlukan pendidikan kesehatan. Itulah sebabnya maka pendidikan kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Pendidikan kesehatan selalu terikat dengan perilaku.

Tidak ada komentar: